Americano Vs Susu Coklat
Karya Amelia Hijrina F
Sore yang mendung mendukung suasana hati perempuan muda itu untuk merenung, menatap lurus kearah tembok abu-abu tua dengan meja bundar dan tiga kursi putih mengelilinginya. Dua disamping kanan dan diri, salah satu kursi di dudukinya dengan sangat halus dan pelan. Terduduk rapi melipat kedua kakinya, bersembunyi dibawah meja bundar terbuat dari kayu bernuansa kalem dan cozy.
Dibawah
tempat duduk ini, ada lantai abu-abu muda yang sedikit berdebu. Dipijak dengan
telapak kaki sebelah kanan ini tampak begitu kokoh dan angkuh. Kulihat dia
mengatakan dengan pelan kepada wanita itu, untuk jangan terlalu menahan apa
yang menyesakkan hati, lantai itu mengatakan ia hanya perlu jujur dengan
keadaan. Lagi-lagi lantai itu terlihat berbisik kepada wanita itu, untuk ia
tetap harus mendongak, tak peduli seberapa tertekan hatinya, seberapa sakit dan
berat bahunya, wanita itu harus tetap berjalan kedepan tak ada yang bisa
menghalangi jalan setapak yang sudah kau aspal dengan kuat beberapa tahun yang
lalu hingga seharusnya kini kau bisa menikmati kesendirianmu dengan tenang dan
damai.
Jalan
yang dipilihnya adalah jalan bercabang yang paling ditakuti orang. Jalanan
berbatu yang terjal, penuh lumpur yang bisa menarik dan menjatuhkanmu kapan
saja. Kadang, bila kau berjalan dengan sedikit terburu-buru kakimu bisa
terkilir luar biasa sakitnya. Kaki yang terjatuh itu merusak mentalmu,
menjatuhkan mental dan sering bisa melukai fikiranmu sendiri. Anggap saja kau
jatuh pada kubangan air, jatuh adalah hal yang biasa didalam hidup tapi kini, air
yang menggenang itu dipenuhi tawa jahat manusia-manusia tak berperasaan yang
memandang dunia hanya pada satu kacamata saja. Kacamata yang disediakan Tuhan
banyak, tapi mereka memilih untuk tau hanya pada sepihak saja.
Kau
terjatuh dan membangkitkan dirimu sendiri dengan tenaga dan rasa sakitmu masih
saja terlihat salah dimata para bajingan yang ada disekelilingmu. Dunia yang
begitu luas dan indah, antariksanya merona, buminya subur makmur, dan udara
yang senantiasa asri, harus dihuni dengan manusia yang hanya melihat sesuatu
dari hal terburuknya tanpa memberikan apresiasi tinggi pada hal-hal baik yang
telah terjadi. Kalau saja udara yang kau hirup ini tercemar sedikit asap rokok,
kau pasti akan menyalahkan mengapa asab rokok ini menyakiti dirinya, mengapa
udara ini tak dapat memfilter asap penganggu ini, padahal solusinya ada dua,
kau bilang pada sang perokok untuk menghentikan dan menelan dalam-dalam asap
kotor ini didalam tubuhnya atau kau yang pergi untuk mencari udara bersihmu
sendiri.
Menjadi
minoritas yang berjalan berlawanan dengan arah jarum jam, berjalan pelan
menikmati waktu dengan tetap berfikir dengan baik. Berdiri dengan kedua kaki
yang kecil, tak berlari, hanya berjalan setapak demi setapak tak menghiraukan
omongan orang, kamu bukanlah buruk. Kau telah berani menjadi sebaik-baiknya
dirimu dimatamu sendiri. Manusia tak pernah merasa bersyukur, manusia terus
merasa kurang atas apapun tapi kini kau memilih untuk berani mengatakan cukup
dan menerjang dunia yang badainya sangat kuat bahkan matamu tak dapat melihat
dengan sangat kuat.
Kau
bisa memilih menjadi dirimu atau memberikan kesan baik kepada seluruh manusia
yang mengenalmu? Ada hal yang tak harus kau sempurnakan. Ada rasa yang tak
harus kau paksakan, sebab kau tak akan mempu menjadi wanita dengan segala
kekurangan menyempurnakan orang dengan kesempurnaan yang selama ini di
idam-idamkan orang banyak. Kau tak akan mampu, percaya dengan ucapanku ini.
Memaksakan menyempurnakan orang akan melukai hatimu, padahal mereka punya
standart yang tak sama antara manusia satu dengan manusia lainnya.
“Rasa
manis tiap manusia itu berbeda, dan pahitnya orang lain juga tak akan sama.
Jadi apa yang membuatmu ingin begitu terlihat sesempurna itu?”
Pintu
yang kau lihat kokoh itu, tak akan benar-benar kokoh sebelum kau memastikan
dengan menyentuh gagang pintu dan daun pintunya. Ada kerapuhan yang tak
sefrontal itu di tunjukkan. Ada rasa takut yang disembunyikan dengan kearoganan
pintu yang kokoh itu. Ia juga memiliki ketakutan untuk tak terlihat sempurna
dimata benda lain yang melihat dan melintasinya. Ia menjadi pemurung dan arogan
dengan kesan yang diberikan dari jauh. Padahal ada sesuatu yang rapuh saat kau
mencoba dekat dan mengenalinya. Ternyata pintu itu tak lain telah menjadi pintu
yang tak percaya diri. Padahal warnanya indah dan desainnya tak terkalahkan.
Tapi dia malu….. dia memilih untuk menutupi sisi rapuhnya.
Berbeda
dengan tembok putih yang ada disebelah kanan wanita sendiri itu, dia tampak
berani menjadi dirinya, menujukkan bahwa dia sangat mempunyai kekurangan,
sangat tak sempurna tapi dia tetaplah tembok yang dominan untuk ditampilkan.
Padahal disisi sini dan disisi sana sangat terlihat bahwa dia adalah tembok
yang cemong dan tak semulus segala benda disisi nya. Tak ada ketakutan ketika
sisi lemahnya terlihat benda lain karena dia telah berdamai dengan apa yang
menjadi ketakutannya dimasa kelam. Dia sosok yang sangat menginspirasi.
Wanita
itu kini berpindah posisi, membelakangi tembok abu-abu gelap dan menghadap
lukisan berdebu disisi café yang mulai sepi ini. Ditatapnya mendalam, ia
melihat ada kesedihan yang mendalam dibalik indahnya goresan cat yang
terbingkai itu. Dia melambai pada wanita dengan sedikit berteriak untuk
memastikan bahwa suara yang dikeluarkannya terdengar dengan jelas oleh wanita
yang kesepian itu. Meronta seperti hendak ingin dikeluarkan dari bingkai kaca
yang ditata tapi di tengah tembok putih yang tak sempurna tadi.
“Heiii!!
Tidakkah kau bisa menyaksikanku disini duhai wanita yang tengah merenung?” kata
perempuan manis dalam lukisan itu.
“Jangan
kau pura-pura tak mendengarkanku wanita, aku tahu kau bisa melihat dan
mendengarku dengan jelas dan baikkan?” teriak perempuan dalam lukisan itu.
Wanita
itu tetap melamun dalam duduknya, kini mulai mencoba melirik pelan kearah
lukisan yang sedari tadi menganggu pendegarannya itu. Mencoba mengamati dan
memberikan seluruh perhatiannya kepada lukisan itu. Perlahan lahan perempuan
dalam lukisan itu memulai pembicaraan dengan nada lembut.
“Mengapa
kau terlihat begitu murung? Padahal senyummu jelas sangat menyilaukan, duhai
wanita perenung?” Tanya perempuan itu.
“Ada
yang tak kufahami dalam diamku, apakah aku manusia yang tak tahu diri
sebenarnya?, telah memiliki jalan setapak yang mulus yang kubangun dengan
ketenangan selama ini, namun apakah aku sebenarnya salah ketika persimpangan
yang kupilih ini adalah jalanan terjal yang tak berpenghuni? Aku terjebak
didalam kicauan bangau yang sebenarnya tak mungkin terjadi. Aku hanya
menabrakkan diri pada realita yang ku takuti. Aku takut pada fakta bahwa aku
salah memilih jalan hidupku aku takut menjadi manusia yang sebenarnya tak tau
kemana jalanku. Aku mengikuti bayangan yang gelap dan tertikam terlalu dalam
didalam lumpur yang sangat pekat. Aku ingin berlari keluar tapi langkahku berat
dan pandanganku gelap. Aku ketakutan tiada tanding. Apa yang harus kulakukan
duhai perempuan dalam lukisan?” timpa wanita
“Hahahaha…
kau adalah aku dimasa muda dahulu, tidakkah kau melihat bahwa usiaku adalah dua
ratus tahun? Bila pandanganmu melihat usiaku seumurmu, kamu salah. Aku adalah
nenek tua yang sudah puluhan generasi. Aku telah melewati jalan gelap yang kau
takuti, pandangan buruk yang diberi orang lain kepadaku, bahwa telah
menyaksikan diriku keluar dan menangis tersedu tanpa tahu harus berbuat apa
untuk menenangkan diriku. Dahulu aku adalah wanita dengan tubuh dan wajah yang
cantik dan diminati banyak lelaki. Mulai dari lelaki baik hingga hidung belang.
Aku begitu ketakutan. Aku ingin bersekolah dengan tenang, memilih jalan hidupku
dengan tidak menikah dan tidak mengantungkan kebahagiaaku kepada siapapun
terlebih pada seorang lelaki, aku tak mau seegois itu” jawab perempuan itu
“Lalu?.....”
balas wanita itu
“Kau
tahu? Akhirnya aku harus menenggelamkan diriku dan mengutuk hidupku dalam dunia
lukisan yang gelap ini. Aku terkukung kuat dalam lukisan buruk ini. Pilihan
hidup yang ku ambil telah ku tetapkan dua ratus tahun lalu. Aku sangat
ketakutan pada seluruh sorot mata gelap yang menatapku dengan penuh rasa tak
percaya. Kau tau apa yang kulakukan? Aku dengan penuh keyakinan berjalan dan
melompat pada lukisan ini, melemparkan nyawaku dalam dalam hingga orang-orang
itu kini menatapku dengan sangat takjub. Tapi, tak sedikit pula mata kebencian
yang tetap bisa kulihat. Dan kini, aku berada di nyawa sebuah lukisan tua
berharga. Dan aku menikmatinya” tutup perempuan itu dengan suara yang memelan.
Rasa
takut tak akan pernah dapat hilang dalam dirimu, rasa bersalah, rasa khawatir
tak akan bisa pergi dari diri yang selalu merenungkan nasib tanpa ingin merebah
dan bangkit sedikit memberikan ruang bernafas dan membiarkan jiwa jiwa yang
enggan terhirup untuk berlari mencari nyawanya sendiri. Nyawa yang tak akan
bisa didapatkan dari renungan yang penuh rasa rendah diri, insecure, dunia tak
bisa dihadapi dengan hanya mengeluh. Bahkan jika orang tuamu mengacungkan pisau
dan pedang yang panjang di ujung dadamu, kau masih tetap memiliki harapan untuk
hidup jika engkau ingi, jika engkau mau dan jika engkau mau sedikit merangkak
dengan segala kekuatan kakimu, kau bisa menepis hal jahat yang ada didepan dan
bersuara serta bertindak untuk berani dan menguatkan hatimu sekali lagi. Kau
bisa dan selalu ada bila kau meyakini itu semua.
Rasa
yang kau fikirkan adalah rasa yang akan kau dapatkan nantinya. Maka tak pernah
ada salahnya untuk memikirkan hal yang baik, dan mencoba memproteksi diri dari
hal-hal gelap yang membelenggumu, sesuatu yang indah adalah hal berat yang kau
lepaskan saat ini, sakit yang kau korbankan sore ini. Kau berhak mendapatkan
kebahagiaan sepenuhnya, karena kau adalah kontrol terbesar dalam dirimu. Kau
adalah singa yang sedang tertidur, Naga yang sedang merebah. Kau akan bangkit
bila dirimu sendiri yang ingin. Beranikan diri untuk melangkah meskipun paku
didepan sangatlah banyak, duri yang sekarang sudah menancap kuat disela kakimu.
Kau bisa menyingkirkan dan menghadapinya dengan kekuatan yang kau punya saat
ini.
Kau
takut tak mendapatkan yang baik bila melepaskan diri pada ikatan yang sedang
kau jalin saat ini. Padahal sesuatu yang besar sebenarnya telah menunggu kau
lepas dari tali-tali hitam yang membelenggumu, mereka sudah menyambut dengan
kedua tangan, mereka mencoba meraihmu dengan sedikit memaksa, tapi kau sendiri
yang membiarkan ikatan itu semakin kuat dan menyakitkan batinmu sendiri. Kau
tak berani melepas karena lagi-lagi ketakutanmu adalah kesepian dan jalanmu
salah. Padahal sama sekali kau belum pernah mencobanya.
Manusia
itu lucu, kau bisa memilih bahagia tetapi tak mau melepaskan rasa sakitmu…
Dunia ini juga lucu, terlihat baik-baik saja tetapi penuh sekali luka yang tak kau sadari bisa merusak tubuhmu sendiri. …
0 Komentar