Penulis : Rahadyan
Ilham
Tidak. Setelah saya yakin bahwa saya menjawab
tidak, saya teringat tentang suatu gambar yang teman-teman juga sering lihat di
Instagram, Facebook, atau mungkin di media sosial lainnya bahwa ada gambar yang
menujukkan tentang perbandingan antara, young, adult, dan old. Dalam
gambar itu terdapat tiga variabel, waktu, uang, dan energi. Pemuda memiliki
banyak waktu dan energi, tapi sedikit uang, orang dewasa memiliki lebih banyak
uang dan energi, tapi sedikit waktu, sedangkan orang yang berusia tua memiliki
banyak waktu dan uang, tapi sedikit energi. Alasan itu sudah cukup menggerakkan
tubuh saya untuk terus berkarya, bahwa anak muda punya energi dan waktu untuk
mempelajari banyak hal baru dalam hidup.
Setelah
sudah nemu alasan untuk belajar hal yang baru, tiba di problem selanjutnya
“Jadi hal apa yang harus dipelajari ?” lucu juga kalau dipikir pertanyaan ini,
karena ya beberapa kalimat di atas sudah sangat kontemplatif dan penuh
perenungan, sedangkan ketika sudah ketemu alasannya, malah ga tau apa yang akan
dilakukan. Beberapa hari saya habiskan dengan perenungan panjang sekali lagi
untuk menemukan apa yang saya harus pelajari. Ada dua kriteria yang saya
tetapkan, pertama, hal ini adalah hal yang membantu saya bercerita atau lebih
tepatnya sebagai sarana pendukung saya untuk menulis dan yang kedua adalah hal
ini harus ada unsur seninya.
Saya
petakan seni setidaknya menjadi tiga hal, ada audio, visual, dan audio visual.
Setelah itu saya coba mengeliminasi satu dari ketiganya sehingga lebih mudah
untuk menentukan apa yang akan saya pelajari. Saya coba mengeliminasi audio
karena saya pikir dua tahun terakhir ini saya sudah banyak berkutat dengan seni
audio, seperti podcast, lagu Hujan Itu, dan Suatu Hari Nanti. Lanjut ke langkah
selanjutnya berarti tersisa dua, visual dan audio visual, saya pilih satu di
antara dua hal itu. Pilihan saya jatuh pada seni visual atau seni rupa yaitu
seni yang menggunakan indra penglihatan sebagai medium komunikasinya.
Singkat
cerita, saya memilih seni fotografi. Bukan hanya karena saya ingin belajar
jenis seni baru, tetapi lebih karena fotografi bukan seni yang sederhana.
Fotografi mengajari saya tentang bagaimana mengumpulkan cahaya, mengatur
komposisi, mengambil ekspresi, membidik momen, dan mengabadikan kehidupan. Dan
itu yang mungkin akan membuat hidup saya lebih berwarna.
“Saya
suka mereka yang bisa tersenyum dalam kesulitan, yang bisa mengumpulkan
kekuatan dari situasi sulit, dan tumbuh berani dengan refleksi diri. Itu adalah
mengenai pola pikir, tetapi mereka yang hatinya teguh, dan yang hati nuraninya
menyetujui perilaku mereka, akan mengejar prinsip mereka sampai mati.”
-Leonardo Da Vinci perupa lukisan Monalisa
Ketika
belajar hal baru, saya selalu ingat tulisan yang saya tulis dan saya tekankan
berulang pada diri saya bahwa “Jangan berpikir untuk selalu terlihat bagus,
mulai dulu, pahami dengan cermat, lalu bagikan karya/pengetahuan itu, tidak
masalah untuk terlihat jelek sebagai pemula” dan ternyata tulisan ini juga
berlaku pada hal apapun yang saya pelajari. Hasilnya tidak selalu sukses, tapi
minimal saya sudah berusaha. Ini pulalah sebenarnya yang saya lakukan juga di
dunia kesehatan. Saya buta, saya tidak tahu arah, saya tidak punya dasar, yang
saya punya hanyalah kemauan untuk tumbuh, kemauan untuk belajar, dan tidak
pernah menyerah.
Kembali
ke fotografi. Beberapa minggu setelah belajar mengenal kamera, teknik
pengambilan foto, lensa dan beberapa hal lain, saya akhirnya membuat akun
Instagram baru untuk membagikan portofolio saya. Membuat akun Instagram baru
itu juga bukan hal sederhana. Saya tidur larut untuk menyelesaikan “pertarungan”
dalam diri saya. Jenis Overthink-nya bermacam-macam seperti,
“Apakah hasil foto saya sudah bagus?” “Bagaimana nanti tanggapan orang terhadap
foto saya?” “Bagaimana kalau saya nanti dikatai keminter?” Apakah
orang bakal respon seperti apa yang saya harapkan dengan foto-foto ini?” dan
lainnya.
Saya
banyak memiliki rekan orang yang menyukai karya seni, rata-rata ketika saya
tanya apa ketakutan terbesar ketika membuat karya seni jawabannya sama, yaitu
mereka ketakutan ketika karya seninya tidak dihargai. Jawaban itu sempat saya
benarkan adanya, tapi saya juga pernah baca kata-kata yang sangat bagus
bunyinya kira-kira begini “One who doesn’t throw the dice can never
expect to score a six.” atau jika di alihbahasakan “Orang yang tidak melempar
dadu, jangan pernah berekspektasi mendapat hasil 6” atau jika diterjemahkan
secara istilah, bahwa ketika kita tidak berani untuk melakukan hal baru, jangan
pernah berharap akan dapat hasil yang diinginkan, dan saya pikir
pertaruhan-pertaruhan semacam itu akan terjadi sangat sering dalam hidup.
Hasil
dari perdebatan panjang antara saya dan diri saya, berkesimpulan bahwa saya
harus buat akun Instagram khusus foto dan saya akan mengunggah hasil foto
terbaik saya pada akun itu. Saya tidak perlu memikirkan respon, like, komentar
dan apapun. Saya tekankan pada diri saya “Kamu (saya) bukan seorang
profesional, maka tidak perlu takut, ini hal yang sama ketika kamu memutuskan
untuk nulis puisi, cerpen, submit tulisan di salah satu kanal
berita, nulis lirik lagu, buat podcast, belajar karawitan, belajar gitar,
belajar debat bahasa inggris dengan vocabulary yang masih cupu, nyanyi dengan
suara seadanya, musikalisasi puisi yang ngga pernah menang, dan hal lainnya.”
Saya
unggah foto saya pertama, kedua, dan seterusnya dengan semangat nothing
to lose. Dan ternyata oke-oke saja, di-repost Pak Bupati, di-repost
salah satu akun Instagram pengenalan pariwisata di Pacitan, itu cukup
membanggakan bagi saya.
Saya
bangga bukan hanya karena akhirnya karya saya dihargai, tapi juga berbangga
karena saya bisa mengalahkan idealisme kekhawatiran saya sebagai seniman. Saya
bangga karena saya tidak takut untuk ambil risiko, coba jika saya ketakutan
kala itu, pasti sekarang ngga tahu apa itu fotografi, dan hal baru lain.
Saya
bangga telah meruntuhkan idealisme kekhawatiran saya, tapi di sisi lain saya
juga telah mengokohkan idealisme saya sebagai orang yang suka seni. Lalu
bedanya di mana? Idealisme kekhawatiran adalah ekspresi pikiran saya untuk
tidak memulai, sedangkan idealisme sebagai orang yang suka seni adalah pilihan
untuk selalu terus belajar dan menghasilkan karya seni terbaik.
Ternyata
hidup tak henti-hentinya memberikan saya sebuah pembelajaran yang menakjubkan
pada hal ini. Tentang keberanian, kesabaran, ketekunan, dan meluruskan makna
idealisme. Keberanian untuk membuat pilihan penting untuk belajar hal baru dan
mengesampingkan ketakutan akan pendapat yang tidak bisa kita kontrol. Kesabaran
untuk berdamai dengan banyak pendapat dalam diri saya. Ketekunan untuk melihat
hal baru sebagai peluang. Sebagai akhir yaitu untuk meluruskan makna idealisme
dan memisahkannya dari perspektif orang lain, dan itulah sebenarnya esensi
idealsime seni.
Tetap
berproses, percaya proses.
0 Komentar