Belajar Esensi Idealisme Seni

Belajar Esensi Idealisme Seni

 Penulis : Rahadyan Ilham

“Saya ingin belajar hal baru di tahun depan” itu kalimat yang saya tulis ketika saya tanya diri saya sendiri apa harapan pada tahun 2021. Agak ironi memang, karena saya tahu tugas diperkuliahan sangat padat dan harus meluangkan waktu ekstra jika saya belajar hal baru, tentu akan ada waktu istirahat yang harus dikompromikan. Lalu dalam waktu yang tenang saya coba renungkan ulang, “apakah benar, masa muda yang penuh dengan power, kesempatan, dan rasa percaya diri yang tinggi hanya akan dihabiskan untuk hal yang bersifat wajib saja?”

 

Tidak. Setelah saya yakin bahwa saya menjawab tidak, saya teringat tentang suatu gambar yang teman-teman juga sering lihat di Instagram, Facebook, atau mungkin di media sosial lainnya bahwa ada gambar yang menujukkan tentang perbandingan antara, young, adult, dan old. Dalam gambar itu terdapat tiga variabel, waktu, uang, dan energi. Pemuda memiliki banyak waktu dan energi, tapi sedikit uang, orang dewasa memiliki lebih banyak uang dan energi, tapi sedikit waktu, sedangkan orang yang berusia tua memiliki banyak waktu dan uang, tapi sedikit energi. Alasan itu sudah cukup menggerakkan tubuh saya untuk terus berkarya, bahwa anak muda punya energi dan waktu untuk mempelajari banyak hal baru dalam hidup.

Setelah sudah nemu alasan untuk belajar hal yang baru, tiba di problem selanjutnya “Jadi hal apa yang harus dipelajari ?” lucu juga kalau dipikir pertanyaan ini, karena ya beberapa kalimat di atas sudah sangat kontemplatif dan penuh perenungan, sedangkan ketika sudah ketemu alasannya, malah ga tau apa yang akan dilakukan. Beberapa hari saya habiskan dengan perenungan panjang sekali lagi untuk menemukan apa yang saya harus pelajari. Ada dua kriteria yang saya tetapkan, pertama, hal ini adalah hal yang membantu saya bercerita atau lebih tepatnya sebagai sarana pendukung saya untuk menulis dan yang kedua adalah hal ini harus ada unsur seninya.

Saya petakan seni setidaknya menjadi tiga hal, ada audio, visual, dan audio visual. Setelah itu saya coba mengeliminasi satu dari ketiganya sehingga lebih mudah untuk menentukan apa yang akan saya pelajari. Saya coba mengeliminasi audio karena saya pikir dua tahun terakhir ini saya sudah banyak berkutat dengan seni audio, seperti podcast, lagu Hujan Itu, dan Suatu Hari Nanti. Lanjut ke langkah selanjutnya berarti tersisa dua, visual dan audio visual, saya pilih satu di antara dua hal itu. Pilihan saya jatuh pada seni visual atau seni rupa yaitu seni yang menggunakan indra penglihatan sebagai medium komunikasinya.

Singkat cerita, saya memilih seni fotografi. Bukan hanya karena saya ingin belajar jenis seni baru, tetapi lebih karena fotografi bukan seni yang sederhana. Fotografi mengajari saya tentang bagaimana mengumpulkan cahaya, mengatur komposisi, mengambil ekspresi, membidik momen, dan mengabadikan kehidupan. Dan itu yang mungkin akan membuat hidup saya lebih berwarna.

“Saya suka mereka yang bisa tersenyum dalam kesulitan, yang bisa mengumpulkan kekuatan dari situasi sulit, dan tumbuh berani dengan refleksi diri. Itu adalah mengenai pola pikir, tetapi mereka yang hatinya teguh, dan yang hati nuraninya menyetujui perilaku mereka, akan mengejar prinsip mereka sampai mati.” -Leonardo Da Vinci perupa lukisan Monalisa

Ketika belajar hal baru, saya selalu ingat tulisan yang saya tulis dan saya tekankan berulang pada diri saya bahwa “Jangan berpikir untuk selalu terlihat bagus, mulai dulu, pahami dengan cermat, lalu bagikan karya/pengetahuan itu, tidak masalah untuk terlihat jelek sebagai pemula” dan ternyata tulisan ini juga berlaku pada hal apapun yang saya pelajari. Hasilnya tidak selalu sukses, tapi minimal saya sudah berusaha. Ini pulalah sebenarnya yang saya lakukan juga di dunia kesehatan. Saya buta, saya tidak tahu arah, saya tidak punya dasar, yang saya punya hanyalah kemauan untuk tumbuh, kemauan untuk belajar, dan tidak pernah menyerah.

Kembali ke fotografi. Beberapa minggu setelah belajar mengenal kamera, teknik pengambilan foto, lensa dan beberapa hal lain, saya akhirnya membuat akun Instagram baru untuk membagikan portofolio saya. Membuat akun Instagram baru itu juga bukan hal sederhana. Saya tidur larut untuk menyelesaikan “pertarungan” dalam diri saya. Jenis Overthink-nya bermacam-macam seperti, “Apakah hasil foto saya sudah bagus?” “Bagaimana nanti tanggapan orang terhadap foto saya?” “Bagaimana kalau saya nanti dikatai keminter?” Apakah orang bakal respon seperti apa yang saya harapkan dengan foto-foto ini?” dan lainnya.

Saya banyak memiliki rekan orang yang menyukai karya seni, rata-rata ketika saya tanya apa ketakutan terbesar ketika membuat karya seni jawabannya sama, yaitu mereka ketakutan ketika karya seninya tidak dihargai. Jawaban itu sempat saya benarkan adanya, tapi saya juga pernah baca kata-kata yang sangat bagus bunyinya kira-kira begini “One who doesn’t throw the dice can never expect to score a six.” atau jika di alihbahasakan “Orang yang tidak melempar dadu, jangan pernah berekspektasi mendapat hasil 6” atau jika diterjemahkan secara istilah, bahwa ketika kita tidak berani untuk melakukan hal baru, jangan pernah berharap akan dapat hasil yang diinginkan, dan saya pikir pertaruhan-pertaruhan semacam itu akan terjadi sangat sering dalam hidup.

Hasil dari perdebatan panjang antara saya dan diri saya, berkesimpulan bahwa saya harus buat akun Instagram khusus foto dan saya akan mengunggah hasil foto terbaik saya pada akun itu. Saya tidak perlu memikirkan respon, like, komentar dan apapun. Saya tekankan pada diri saya “Kamu (saya) bukan seorang profesional, maka tidak perlu takut, ini hal yang sama ketika kamu memutuskan untuk nulis puisi, cerpen, submit tulisan di salah satu kanal berita, nulis lirik lagu, buat podcast, belajar karawitan, belajar gitar, belajar debat bahasa inggris dengan vocabulary yang masih cupu, nyanyi dengan suara seadanya, musikalisasi puisi yang ngga pernah menang, dan hal lainnya.”

Saya unggah foto saya pertama, kedua, dan seterusnya dengan semangat nothing to lose. Dan ternyata oke-oke saja, di-repost Pak Bupati, di-repost salah satu akun Instagram pengenalan pariwisata di Pacitan, itu cukup membanggakan bagi saya.

Saya bangga bukan hanya karena akhirnya karya saya dihargai, tapi juga berbangga karena saya bisa mengalahkan idealisme kekhawatiran saya sebagai seniman. Saya bangga karena saya tidak takut untuk ambil risiko, coba jika saya ketakutan kala itu, pasti sekarang ngga tahu apa itu fotografi, dan hal baru lain.

Saya bangga telah meruntuhkan idealisme kekhawatiran saya, tapi di sisi lain saya juga telah mengokohkan idealisme saya sebagai orang yang suka seni. Lalu bedanya di mana? Idealisme kekhawatiran adalah ekspresi pikiran saya untuk tidak memulai, sedangkan idealisme sebagai orang yang suka seni adalah pilihan untuk selalu terus belajar dan menghasilkan karya seni terbaik.

Ternyata hidup tak henti-hentinya memberikan saya sebuah pembelajaran yang menakjubkan pada hal ini. Tentang keberanian, kesabaran, ketekunan, dan meluruskan makna idealisme. Keberanian untuk membuat pilihan penting untuk belajar hal baru dan mengesampingkan ketakutan akan pendapat yang tidak bisa kita kontrol. Kesabaran untuk berdamai dengan banyak pendapat dalam diri saya. Ketekunan untuk melihat hal baru sebagai peluang. Sebagai akhir yaitu untuk meluruskan makna idealisme dan memisahkannya dari perspektif orang lain, dan itulah sebenarnya esensi idealsime seni.

Tetap berproses, percaya proses.

 


0 Komentar